Sepuluh Wilayah Kebudayaan

Kesenian tradisional (rakyat) di Jawa Timur sangat beragam. Menurut Ayu Sutarto, seorang antropolog Universitas Negeri Jember, menganggap wilayah Jawa Timur secara kultural bisa dibagi dalam 10 wilayah kebudayaan yaitu kebudayaan Jawa Mataraman, Jawa Panaragan, Arek, Samin (Sedulur Sikep), Tengger, Osing (Using), Pandalungan, Madura Pulau, Madura Bawean, dan Madura Kengean (Ayu Sutarto dan Setyo Yuwono Sudikan, 2004).

Masyarakat Jawa Mataraman memiliki produk kebudayaan yang tidak jauh berbeda dari komunitas Jawa yang tinggal di Surakarta dan Yogyakarta. Masyarakat Jawa Mataraman mempunyai pola kehidupan sehari-hari sebagaimana pola kehidupan orang Jawa pada umunya. Pola bahasa Jawa yang digunakan, meskipun tidak sehalus masyarakat Surakarta dan Yogyakarta, mendekati kehalusan dengan masyarakat Jawa yang terpengaruh kerajaan Mataram di Yogyakarta. Begitu pula pola cocok tanam dan sistem sosial yang dianut sebagaimana pola masyarakat Surakarta dan Yogyakarta. Pola cocok tanam dan pola hidup di pedalaman Jawa Timur, disebagian besar, memberi warna budaya Mataraman tersendiri bagi masyarakat ini. Sedangkan selera berkesenian masyarakat ini sama dengan selera berkesenian masyarakat Jawa pada umumnya. Dalam masyarakat Jawa Mataraman ini banyak jenis kesenian seperti ketoprak, wayang purwa, campur sari, tayub, wayang orang, dan berbagai tari yang berkait dengan keraton seperti tari Bedoyo Keraton.

Masyarakat Jawa Mataraman ini pada umumnya masyarakat yang tinggal di wilayah Kabupaten Ngawi, Kabupaten dan Kota Madiun, Kabupaten Pacitan, Kabupaten Magetan, Kabupaten dan Kota Kediri, Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten dan Kota Blitar, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Tuban, Kabupaten Lamongan, dan Kabupaten Bojonegoro.

Sedangkan komunitas Jawa Panaragan tinggal di Kabupaten Ponorogo. Secara kultural masyarakat Jawa Panaragan dikenal sangat menghormati tokoh-tokoh formal yang berposisi sebagai pangreh praja, tetapi tokoh informal seperti warok dan ulama juga memiliki status sosial cukup penting di daerah ini. Jenis kesenian di wilayah ini sangat terkenal yaitu Reog Ponorogo. Banyak kesenian yang dikenal di daerah ini, seperti lukisan kaca, tari tayub (tandakan), dan yang sangat terkenal adalah reog Ponorogo.

Populasi orang Samin secara relatif tinggal sedikit, tetapi secara kultural pengaruhnya di masyarakat Jawa Timur relatif besar. Masyarakat Samin mempunyai prinsip anti penjajah dan bersikap jujur. Masyarakat ini menganggap manusia yang baik adalah manusia yang kata dan perbuatannya adalah sama.

Komunitas Arek dikenal mempunyai semangat juang tinggi, terbuka terhadap perubahan, dan mudah beradaptasi. Komunitas Arek juga dikenal sebagai komunitas yang berperilaku bandha nekat. Perilaku bandha nekat ini disatu sisi bisa mendorong munculnya perilaku patriotik, tetapi di sisi lain juga menimbulkan sikap destruktif. Surabaya merupakan kota kedua terbesar di Indonesia. Surabaya juga merupakan kota metropolitan yang menampung berbagai komoditas, mobilitas sosial, dan pasar barang dan jasa dari kota-kota kedua di Jawa Timur, seperti Gresik, Mojokerto, Jombang, Sidoarjo, malang, Blitar, probolinggo, Jember, dan sebagainya. Disamping itu berbagai arus informasi, teknologi, perdagangan, industri, dan pendidikan dari luar Jawa Timur umumnya melalui Kota Surabaya.

Posisi Kota Surabaya sebagai kota metropolitan, pasar dari kota sekitarnya di Jawa Timur, dan pintu gerbang bagi arus informasi, pendidikan, perdagangan, industri, dan teknologi dari luar Surabaya menyebabkan masyarakat Kota Surabaya relatif terbuka dan heterogen. Yang menarik komunitas Arek ini dengan sikap keterbukaaannya itu bisa menerima berbagai model dan jenis kesenian apa pun yang masuk ke wilayah ini. Berbagai kesenian tradisional hingga modern cepat berkembang di wilayah ini. Kesenian tradisional (rakyat) yang banyak berkembang di sini adalah Ludruk, Srimulat, wayang purwa Jawa Timuran (Wayang Jek Dong), wayang Potehi (pengaruh kesenian China), Tayub, tari jaranan, dan berbagai kesenian bercoral Islam seperti dibaan, terbangan, dan sebagainya. Sementara kesenian modern berbagai gaya, corak, dan paradigma berkembang pesat di Kota Surabaya. Seni rupa bergaya realisme, naturalisme, surialisme, ekspresionisme, pointilisme, dadaisme, dan instalasi berkembang pesat di Kota ini. Begitu pula model teater, tari, musik, dan sastra kontemporer sangat pesat perkembangannya di wilayah Arek ini. Sikap keterbukaan, egalitarian, dan solidaritas tinggi itu mendorong berbagai kesenian macam apa pun bisa berkembang di Kota surabaya sebagai wadah buadaya Arek.

Sementara itu komunitas Madura dikenal sebagai komunitas dengan sikap yang ulet dan tangguh. Hal itu disebabkan oleh alamnya yang kering dan relatif kurang subur. Agama Islam menjadi nilai dasar sosial yang paling penting di pulau ini. Struktur sosial masyarakat Madura yang Islam itu menempatkan kiai menjadi aktor penting sekali dalam kehidupan masyarakat Madura. Sistem pendidikan pesantren dan tradisi pendidikan pesantren sorogan dalam pelajaran di pesantren menempatkan kiai menjadi agen penting dari kehidupan sosial sosio-ekonomi masyarakat Madura. Kesenian yang berkembang di wilayah ini banyak diwarnai nilai Islam. Mulai dari tari Zafin, Sandur, Dibaan, Topeng Dalang (di Sumenep), dan sebagainya.

Karena kiai dan pesantren ditempatkan sebagai posisi strategis dalam sistem sosial masyarakat Madura maka kiai dan pesantren seringkali menjadi agen penting dalam masyarakat ini. Bahkan dalam banyak hal kiai dan pesantrennya, secara kultural, bisa pula sebagai agen pembaharuan dalam masyarakat Madura. Tidak heran kalau banyak sastra modern, banyak dipengaruhi sastra Timur Tengah berkembang di sekitar pesantren dan kiai ini. Para penyair modern dan sajak sajak modernnya berkembang di sekitar komunitas santri ini. Penyair Zawawi Imron dari Batang-batang Sumenep adalah seorang ustadz Madura yang terkenal.

Komunitas Pandalungan merupakan hasil sintesis antara budaya Jawa dan Madura. Komunitas Pandalungan itu banyak tinggal di pesisir Pantai Utara Jawa Timur dan sebagian Pesisir Selatan Jawa Timur bagian timur. Komunitas Pandalungan tinggal Kabupaten dan Kota Pasuruan, Kota dan Kabupaten Probolinggo, Lumajang, Jember, dan Bondowoso. Masyarakat wilayah Pandalungan ini sebagian besar mata pencahariannya dari bertani, buruh tani, perkebunan, dan nelayan. Komunitas Pandalungan ini sangat besar pengaruh budaya Madura dan Islam. Bahasa sehari-hari masyarakat wilayah Pandalungan ini pada umumnya adalah bahasa Madura. Kesenian yang berkembang di wilayah ini bercorak Mataraman dan sekaligus Pandalungan. Hanya saja dasar nilai Islamnya sangat kuat sekali dalam berbagai corak kesenian rakyatnya.

Sementara itu komunitas Osing banyak tinggal di Kabupaten Banyuwangi, utamanya di kecamatan yang dekat dengan Pulau Bali. Masyarakat Osing dikenal sebagai masyarakat tani yang rajin dan mempunyai bakat kesenian yang baik sekali. Sebagian besar corak kesenian masyarakat Osing dipengaruhi oleh budaya Jawa dan Bali. Karena jaraknya sangat dekat dengan Jember dan mobilitas dengan wilayah Pandalungan lainnya, seperti Bondowoso, Probolinggo, dan Situbondo maka pengaruh nilai Pandalungan nampak pula di daerah ini. Di wilayah masyarakat Osing ini ada kesenian Gandrung Banyuwangi, Kentrung, dan Burdah.

Masyarakat Tengger banyak tinggal di sekitar Gunung Bromo, wilayah Kabupaten Probolinggo. Masyarakat Tengger sebagian besar hidup dari bertani dan hasil hutan. Masyarakat Tengger banyak dipengaruhi oleh nilai kerajaan Mojopahit. Karena itu nilai animesme dan Hindu masih kental sekali.

Kesimpulan:

Peta Kesenian Jawa Timur, secara kultural, bisa dipilah dalam 2 budaya besar yaitu pertama, kesenian Jawa Timur modern yang banyak dipengaruhi oleh nilai dan tradisi kreativitas Barat, meskipun tidak berarti sebagai kesenian Barat itu sendiri. Dan kedua, kesenian tradisional (kesenian) rakyat sebagai ekspresi dari indigeneous masyarakat etnik Jawa Timur yang ada.

Peta kesenian Jawa Timur dalam perspektif modern dan tradisional ini berada dalam semua (sebanyak 38) kota dan kabupaten di Jawa Timur. Di semua kota dan kabupaten di Jawa Timur selalu ada gejala kesenian modern dan tradisional. Dua gejala kesenian itu seringkali bersifat dualisme, sebagaimana dikonsepkan oleh Boeke, dalam arti berkembang secara sendiri sendiri dan tidak banyak saling ”bertemu”.

Secara tradisional dan kultural kesenian Jawa Timur pun bisa dipilah dalam 10 wilayah budaya yaitu Jawa Mataraman, Jawa Panaragan, Arek, Samin (Sedulur Sikep), Tengger, Osing (Using), Pandalungan, Madura Pulau, Madura Bawean, dan Madura Kangean.

 

6 Responses

  1. GiNi. kiRa2 aPa y, keSeNiaN jaWa timuR iTu?? aDa aPa aJa??? BiSa jeLaSiN???

  2. Komunitas Pandalungan dalam artikel anda kok tidak memasukkan masyarakat situbondo ? sepaham saya, mereka juga masuk dalam ‘hasil sintesis antara budaya Jawa dan Madura’ seperti dalam catatan anda. mereka berbahasa madura, bahkan banyak yg tidak mengerti bahasa jawa -jawa timuran-. mereka menggunakan adat tradisi madura, meskipun kebanyakan dari mereka merupakan generasi ktiga atau keempat dari moyang mereka yg asli madura sebenar2nya. bahkan di asembagus, salah satu wilayah di pesisir situbondo terdapat pelabuhan Jangkar yg langsung dapat mengantarkan penumpang menuju ke pulau madura dan kepulauan kecil di sekitarnya … (kalo tak salah ingat, bisa langsung ke sapudi )

    -warm wishes-

    everyman has own history
    but her story is history too …

  3. Saya minta tolong, bagaimana masyarakat Jawa Timur menangani sebuah Kematian, perkawinan dan adat istiadat?

  4. […] Sepuluh Wilayah Kebudayaan […]

  5. Ada rencana buat Festival Budaya Mataraman. Tapi kok Ponorogo gak masuk wilayah budaya itu ya???? Padahal secara geografis dekat dengan Madiun, Ngawi, Magetan n Pacitan.

  6. memang ponorogo secara geografis terletak di daerah jawa mataraman, bahkan media masa, serta orang awam mengira bila ponorogo adalah daerah matraman, namun pada saat baca iklan di majalah kompas jawa pos, ada festival mataraman sekali seumur hidup( 230 tahun sekali), di situ terdapat kesenian dari ponorogo, diantaranya warokan, dan seni gajah- gajahan ponorogo.

    hal tersebut karena, kala ponorogo sebuah kerajaan tua. dan saat di bawah pimpinan batoro katong, wengker di rubah namamnya jadi pronorogo, dan jadilah ponorogo.

    saat ponorogoo menjadi salah kadipaten matraman islam, ponorogo sangat penting dalam hal perdamain, seperti pengusiran kaum madura yang menjajah gresik., jadi ponorogo menjadi salah satu daerah matraman,

    sebulmnya orang ponorogo dan orang luar ponorogo di bawah pimpinan bataoaro ktong di sebut sebgaia wong ponorogoan, dan stelah proklamasi , nama ponorogo sempat menjadi panaraga, bahkan reog pun menjadi reog panaraga, berkat para warok, dadak merak singo barong pun di di beri embel- embel reyog ponorogo untuk merebut citra nama ponorogo, banyak kota di jawa yang di indonesiakan seperti:
    -medion jadi madiun,
    -surokerto jadi surakarta
    -yugyoketo jadi yogyakarta
    -suroboyo jadi surabaya
    dll..

    masyaraka ponorogo yang merantau ke luar ponorogo, selalu membuat nama yang berkaitan dengan nama populer di ponorogo. seperti:
    mangkujayan, manunggal, menggolo, kawijayan, ponorogo, suro kerto, kertojoyo, dll.

    di bogor, terdapat desa bernama, panaragan.
    di lampung terdapat kecamatan bernama panaragan,
    di lampung terdapat kota bernama menggala,
    di daerah manapun yang ada nama mangkujayan, kertajaya, gang ponorogo, brati di situ mayoritasnya warga ponorogo.

Leave a reply to Junaidi arfan Cancel reply