Masukkan Budaya Jawa di Sekolah

SURABAYA – Keprihatinan atas berkurangnya eksistensi budaya Jawa ternyata juga dirasakan oleh para guru Yayasan Pengembangan Pendidikan Indonesia (YPPI). Berdasar keprihatinan tersebut, gabungan guru bahasa Indonesia, sosiologi, dan sejarah seluruh sekolah YPPI Surabaya mengundang anggota Javanologi Surabaya kemarin (17/12).
Anggota Javanologi bertindak sebagai narasumber lokakarya bertajuk Budaya Jawa dalam Pendidikan untuk guru-guru YPPI. “Banyak orang salah kaprah menerapkan pendidikan budaya Jawa dengan hanya mengajarkan bahasa Jawa. Padahal, bahasa hanya bagian kecil dari budaya itu sendiri,” kata Sutrisno, ketua Javanologi, kepada sekitar 60 peserta lokakarya di kompleks sekolah YPPI di Jalan Dharmahusada Indah Barat kemarin.
Dia mengatakan, banyak nilai budaya Jawa yang terkikis seiring dengan perkembangan zaman. Budaya menghormati orang tua, misalnya, mulai luntur di kalangan generasi muda. “Dulu, kalau orang tua memberi petuah atau marah, anak-anak tidak berani menatap mata orang tua. Sekarang, anak-anak diberi tahu malah membantah,” tuturnya. Dia berharap kita dapat mencontoh Jepang yang tidak kehilangan budayanya meskipun kemajuan teknologinya berkembang pesat.
Surabaya, lanjut dia, bisa dikatakan ketinggalan dengan Semarang yang sudah menerapkan bahasa Jawa sebagai pengantar proses belajar dan mengajar di sekolah pada hari-hari tertentu. Selain itu, nilai-nilai budaya Jawa diajarkan lewat tembang-tembang Jawa kuno. “Tembang-tembang Jawa mewakili kekayaan budaya Jawa. Dengan memahaminya, anak-anak akan merasa bangga memiliki budaya Jawa,” ujarnya.
Untuk meramaikan lokakarya tersebut, murid SMP YPPI 1 menampilkan kemampuan menabuh gamelan. “Hampir di seluruh sekolah YPPI terdapat ekstrakurikuler karawitan sebagai upaya nguri-nguri budaya Jawa,” ucap siswa SMP YPPI 2 Rendra Prihandono. Dia menuturkan, lokakarya itu bertujuan memberikan bekal pengajaran budaya Jawa bagi guru-guru YPPI.
Dia menyatakan, perkembangan budaya Jawa yang paling penting adalah unggah-ungguh dan tata krama pergaulan. “Guru harus bisa menjadi teladan bagi murid-muridnya. Sebab, bidikannya tidak sekadar mengajarkan bahasa Jawa lagi,” lanjutnya. Bahkan, dia menyebutkan bahwa penyampaian budaya Jawa tidak harus menggunakan bahasa Jawa.
“Fungsi bahasa kan hanya sebagai perantara komunikasi agar yang diajak bicara bisa nyambung. Harus diajarkan lewat bahasa Indonesia juga tidak apa-apa. Sebab, hasil belajar budaya tampak di sikap, bukan sekadar bisa ngomong Jawa,” tegasnya.
Soal Semarang yang sudah menerapkan penggunaan bahasa Jawa sebagai pengantar, dia menyatakan setuju. Namun, pelaksanaannya masih harus dibahas lebih lanjut. “Tapi, bahasa yang digunakan harus disesuaikan dengan bahasa Jawa Timur-an,” ungkapnya. Rendra menuturkan, upaya tersebut merupakan bentuk keprihatinan terhadap lunturnya kemauan berbudaya Jawa di kalangan anak muda. “Orang Amerika saja bangga dan senang dengan budaya Jawa. Masak, kita meninggalkannya,” imbuhnya. (uji/dos)

Jawa Pos, Selasa, 18 Des 2007

One Response

  1. seperti yang kita lihat da rasakan.. dewasa ini memang generasi muda cenderung bertingkah demikian. akan tetapi
    saya salut dengan kota semarang yang telah menerapkan bahasa jawa sebagai bahasa pengantar pembelajaran. mungkin d surabaya boleh mengikuti hal yang demikian.

Leave a reply to Reymond Cancel reply